Pemerintah Akan Bentuk Badan Jaminan Produk Halal

JAKARTA (21/1) - Pemerintah berencana membentuk Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJH) dalam waktu dekat. Lebih jauh lagi, Komisi VIII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) berjanji akan mendorong pembentukan badan ini. 

Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera Ledia Hanifa mengatakan pembentukan BPJH sesuai dengan amanat UU Jaminan Produk Halal (JPH). 

"UU Jamiman Produk Halal merupakan UU yang mengatur penyediaan obat, komestik, makanan, serta minuman yang menggunakan bahan halal serta diproses secara halal dari hulu ke hilir," kata Ledia di Senayan, Jakarta Selatan, Rabu (21/1). 

Pembentukan BPJH sebagai badan sertifikasi sesuai dengan amanat UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH). Adapun, Rancangan UU (RUU) Jaminan Produk Halal (JPH) sebelumnya telah disetujui DPR menjadi UU dalam rapat Paripurna DPR, Kamis (25/9).

Ledia mengatakan nantinya BPJH yang mempunyai kewenangan dalam mengeluarkan sertifikasi halal. BPJH kemudian akan bekerja sama dengan MUI dalam menyatakan kehalalan suatu produk.

"Jadi butuh pengakuan dari BPJH dan MUI agar suatu produk dinyatakan halal. Dari MUI berupa fatwa tertulis, sedangkan dari BPJH berupa sertifikat," kata Ledia. Dalam pelaksanaannya, Ledia mengatakan sertifikat BPJH tidak boleh keluar bila tidak ada pernyataan halal dari MUI.

Pengakuan dari dua lembaga itu menjadi penting karena ada beberapa negara yang hanya mempercayai pengakuan dari MUI. Sementara, beberapa negara lainnya mempertanyakan legalitas MUI yang bukan lembaga negara. 

"Jadi kami minimalisasir masalah ini dengan adanya regulasi pernyataan halal harus ada dari BPJH serta MUI. Mereka jadi satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan," kata Ledia.

Ledia mengatakan Komisi VIII telah membahas soal sinkronisasi dua lembaga yang mengambil andil dalam pengakuan halal tersebut. "Sertifikasi nasional sedang menyiapkan peraturan pemerintah yang berkaitan dengan hal ini bersama Kementerian Agama. Jadi, ini lintas sektor ya," ucapnya.

Di sisi lain, Ketua International Pharmaceutical Manufacturers Group (IPMG) Luthfi Mardiansyah khawatir pelaksanaan UU Jaminan Halal akan mengakibatkan penurunan atas produksi obat, terutama vaksin. Hal ini, menurutnya, dapat berakibat fatal bagi pasien yang membutuhkan vaksin tersebut.

"Kami mendukung UU ini. Namun yang harus diperhatikan, akibat adanya UU ini, proses produksi obat akan sangat panjang," kata Luthfi. Ia mengatakan, label halal bukan hanya terpaku pada bahan obat, tetapi juga proses pembuatannya.

"Misalnya, ketika akan memproduksi kapsul yang terbuat dari kulit sapi, harus dipastikan apakah sapi itu dipotong dengan cara halal atau tidak. Karena proses yang sangat panjang, ketersediaan obat pun akan terhambat," kata Luthfi.

Menanggapi hal itu, Ledia berpendapat, "Keluhan seperti itu masalah klasik. Sebenarnya, prosesnya itu bisa dikembangkan. Pasti tiap perusahaan punya bagian bagian riset dan pengembangan yang dapat melakukan prosedur secara halal." 

Ia mengatakan MUI telah mengeluarkan kebijakan bahwa obat non halal boleh dikonsumsi bila keadaannya memang darurat. "Kami memberi waktu selama lima tahun untuk UU ini agar kemudian dapat menjadi kewajiban. Bisa dilakukan asal sosialisasi dari sekarang," katanya. 

Sumber: http://www.cnnindonesia.com

Posting Komentar

0 Komentar